Sabtu malam. Lagi-lagi
hanya menggegam ponsel bukan tanganmu sejak pertemuan terakhir kita 3 bulan
lalu di stasiun.
“Aku kangen.”
“Iya, aku juga.”
“Kamu kapan pulang?”
“Sabar ya.”
“Iya, aku juga.”
“Kamu kapan pulang?”
“Sabar ya.”
Air mataku mulai mengalir.
“Aku menyerah.”
“Maksud kamu.”
“Aku menyerah pada jarak. Aku menyerah dengan hubungan kita.”
“Tapi.. Sudah 3 tahun kitamemperjuangkan hubungan ini. Kamu tidak boleh menyerah. Sedikit lagi sayang. Sedikit lagi kita akan menang.”
“Apa yang bisa dipertahankan dalam hubungan seperti ini? Rindu? Iya? Mempertahankan rindu yang setiap hari semakin parah, rindu yang setiap hari menyiksaku? Apa? Tolong beri aku satu alasan agar aku tetap bertahan menunggumu pulang.”
“............”
“3 tahun sudah aku bertahan. Menunggumu dengan setia. Kamu terlalu sibuk untuk sekedar menemuiku, memelukku sebentar dan meyakinkanku agar aku bertahan.”
“Baiklah, jika memang ini keputusanmu yang mungkin terbaik untuk kita. Aku tidak punya cukup alasan untuk membuatmu bertahan, aku akan melepasmu. Untuk terakhir kalinya, aku bertanya. Tak bisakah kau menungguku? Aku akan segera pulang, memelukmu sayang.”
“Tidak. Maafkan aku.”
“Maksud kamu.”
“Aku menyerah pada jarak. Aku menyerah dengan hubungan kita.”
“Tapi.. Sudah 3 tahun kitamemperjuangkan hubungan ini. Kamu tidak boleh menyerah. Sedikit lagi sayang. Sedikit lagi kita akan menang.”
“Apa yang bisa dipertahankan dalam hubungan seperti ini? Rindu? Iya? Mempertahankan rindu yang setiap hari semakin parah, rindu yang setiap hari menyiksaku? Apa? Tolong beri aku satu alasan agar aku tetap bertahan menunggumu pulang.”
“............”
“3 tahun sudah aku bertahan. Menunggumu dengan setia. Kamu terlalu sibuk untuk sekedar menemuiku, memelukku sebentar dan meyakinkanku agar aku bertahan.”
“Baiklah, jika memang ini keputusanmu yang mungkin terbaik untuk kita. Aku tidak punya cukup alasan untuk membuatmu bertahan, aku akan melepasmu. Untuk terakhir kalinya, aku bertanya. Tak bisakah kau menungguku? Aku akan segera pulang, memelukmu sayang.”
“Tidak. Maafkan aku.”
Aku menutup telepon.
Tangisku pecah seketika. Aku tak tau setan apa yang mendorongku berkata seperti
itu. Menghakimi kekasihku seolah dia tersangka utama yang membuat rinduku tak
mau lagi berdamai yang menuntut akan hanya. Tersangka yang berujung dengan
vonis kepada hubungan kami.
Aku merebahkan tubuhku
ke tempat tidur dan memutar musik sekencang-kencangnya. Entah ini kebetulan
yang sudah direncanakan Tuhan atau apa. Tak Bisakah – Peterpan mengalun dari iTunesku. Lagu kesukaan kita. Yang
selalu kita nyanyikan saat bertemu. Ia bermain gitar, kita menyanyi sesekali ia
mengacak rambutku. Aahh..
Hatiku
bimbang namun tetap pikirkanmu
Selalu, slalu dalam hatiku
Ku melangkah sejauh apapun itu
Selalu kau di dalam hatiku
Selalu, slalu dalam hatiku
Ku melangkah sejauh apapun itu
Selalu kau di dalam hatiku
Ku
berjalan, berjalan memutar waktu
Berharap temukan sisa hatimu
Mengertilah ku ingin engkau begitu
Mengerti kau di dalam hatiku
Berharap temukan sisa hatimu
Mengertilah ku ingin engkau begitu
Mengerti kau di dalam hatiku
Tak
bisakah kau menungguku
Hingga nanti tetap menunggu
Tak bisakah kau menuntunku
Menemani dalam hidupku
Dara kau menjadi hidupku
Kemana kau tahu isi hatiku
Tunggu sejenak aku di situ
Jalanku, jalan menemukanmu
Hingga nanti tetap menunggu
Tak bisakah kau menuntunku
Menemani dalam hidupku
Dara kau menjadi hidupku
Kemana kau tahu isi hatiku
Tunggu sejenak aku di situ
Jalanku, jalan menemukanmu
Aku kembali mengambil
ponselku, sambil terisak aku mengirim sms kepada kekasihku.
“Maafkan aku. Aku ga
mau berpisah sama kamu. Maaf sikapku terlalu kekanakan, aku belum bisa ngertiin
kamu. Tunggu sejenak aku di situ.
Jalanku, jalan menemukanmu.Iya. Pasti. Aku akan menunggumu, sampai kapanpun
itu. Aku akan menjaga hati ini untukmu. Sampai sebuah cincin kau sematkan di
jari manisku. Bukan hanya jalanmu yang akan menemukanku tapi juga jalanku yang
akan menemukanmu. Menemukan cinta kita yang berlabuh pada suatu titik. Aku
sayang kamu Kian, Keeanu Bagaskara.”
Komentar
Posting Komentar