Hari Spesial yang Tak Spesial

Hari ini, 7 Juli usiaku genap 17 tahun. Ucapan selamat ulang tahun ku terima dari beberapa teman facebookku, yang entah mereka benar-benar ingat dengan ulang tahunku atau hanya sekedar basa-basi karena tanggal ulang tahunku muncul di notification mereka. Ku terima juga ucapan ulang tahun dari beberapa followers twitterku, yang entah mereka benar-benar peduli atau hanya sekedar mengikuti arus linimasa. Pun, ucapan ulang taun dari teman-teman sekolahku, yang entah mereka dengan tulus mengucapkannya kepadaku atau hanya ingin mendapat undangan perayaan ulang tahun ke-17ku.
Ah, aku tak peduli dengan ucapan-ucapan ulang tahun dari mereka. Yang menjadi pertanyaanku satu, mengapa ayah ibuku tak pernah mengucapkan selamat pada tiap peringatan hari lahirku? Tak pernah ada tart, lilin, kado serta pesta di setiap hari lahirku. Tak seperti kakak dan adikku, itu semua selalu ada dalam tiap tahun, perayaan hari lahir mereka. Tak hanya ituu saja, mereka selalu mendapat surprise di stiap jam 12 malam dari ayah ibuku sembari menyerahkan tart warna-warni dengan lilin pertanda umur mereka diatasnya. Kecup sayang di kening mereka serta doa tulus dari Ayah dan Ibu menyertai perayaan hari bahagia mereka.
Dengan berbekal rasa penasaran atas perlakuan Ibu dan Ayahku di hari bahagiaku, ku bongkar seluruh isi lemari. Ku cari lembar akta kelahiran serta kartu keluarga. Dan, benar saja, dituliskan disana tanggal lahirku yang berbeda. 7 Juli untuk lembar akta kelahiranku dan 17 Juli untuk lembar kartu keluarga. 10 hari tenggang waktu yang ada di kedua surat itu. Aku semakin bingung, kenapa bisa ini terjadi? Bukankah seorang Ibu tak akan pernah lupa dengan tanggal lahir anaknya? Atau, jika memang itu murni salah penulisan, mengapa Ayah tak buru-buru untuk memperbaikinya?
Esoknya, aku mendatangi kantor desa untuk menanyakan hal ini, apakah mungkin kedua surat itu mengalami kesalahan penulisan tanggal lahir. Bapak kepala desa itu hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku atau mengarahkanku kepada seseorang yang bisa menjawab pertanyaanku. “Pak, bagaimana?” Pak Kades tetap diam seraya menundukkan kepalanya, seolah ia mempunyai jawaban namun ia bingung untuk mengatakannya. “Kamu yakin ingin tahu jawabannya, nak?” tanyanya padaku. “Kalau aku tak ingin jawaban, untuk apa aku datang kemari dengan membawa kedua surat ini.”
Aku terdiam, terperanga, tak percaya dengan apa yang diceritakan Pak Kades. Pantas, Ayah dan Ibu tak pernah ingat dengan ulang tahunku. Aku tak pernah lahir dari rahim yang sama dengan orang yang ku anggap saudara di rumah ini. Akta kelahiran itu hanya palsu, Ayah membuatkannya untuk keperluanku mendaftar sekolah dengan mengarang tanggal lahirku. Tak seorangpun tau kapan pastinya aku lahir, aku terlantar berhari-hari di jalanan, hingga Ayah dan Ibu memungutku. Namun, semua orang di desa ini sudah tahu jika aku lahir dari seorang wanita di ujung jalan itu.
Ya, wanita yang sering ku lempari kerikil waktu kecil dan ku olok sebagai orang gila itu, Ibu kandungku.

Komentar

Posting Komentar