pict source: pinterest
Saya pernah punya harapan. Saya pernah punya mimpi. Saya juga
pernah punya cita-cita, yang semuanya bersumber pada kamu.
Saya mencintai kamu. Kamu mencintai saya. Kita saling
mencintai dan hidup bahagia selama-lamanya.
Kamu tampan dan kamu baik. Semua orang juga tau itu, tak
terkecuali saya.
Kamu pintar, kamu lucu dan kamu menyenangkan. Bersama dengan
kamu membuat saya merasa yang paling bahagia di dunia ini.
Saya ingin selalu ada di dekatmu. Membuatmu selalu bahagia
dan tertawa sepanjang hari. Dengan begitu, tandanya saya siap berperang dengan
banyak wanita di luar sana. Wanita-wanita yang akan dengan sekuat tenaga
merebutmu dari pelukan saya. Namun saya tidak akan menyerah. Saya juga akan
mempertahankanmu sekuat tenaga saya. Saya siap dengan segala resikonya. Kamu
dengan segala keluarbiasaan kamu, dan saya dengan kesederhanaan saya.
Lalu orang-orang mulai mencaci saya, termasuk wanita-wanita
itu tak henti menjatuhkan saya. Mereka bilang saya terlalu tinggi untuk
bermimpi. Mimpi yang sukar untuk dicapai, ibarat punuk merindukan bulan.
Serangan datang tak
henti. Menghantam dari sudut manapun. Kiri – kanan, atas – bawah, depan –
belakang. Semua dengan kompak menyerang dan mencoba menjatuhkan saya dari
pertahanan agar melepaskan kamu dari pelukan.
Saya yang pada mulanya tegar dan siap berjuang
mempertahankanmu pun runtuh juga. Saya menyerah.
Lalu, saya ingat pada suatu kalimat “Pejuang sejati bukanlah mereka yang terus
maju, tapi mereka yang selalu tahu kapan saatnya mundur, berhenti, atau diam
sejenak mengatur strategi.”
Setidaknya, pada sebuah kalimat itulah saya mencoba untuk menghibur
diri. Meyakinkan diri bahwa saya tidak kalah dan belum mau untuk menyerah.
Tapi, apa daya kenyataan berbicara lain. Saya tak mampu lagi berdiri,
mempejuangkan kamu agar tak lepas dari pelukan. Saya menyerah.
Memang, ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan. Dan mungkin, salah
satunya adalah kita. Saya dan kamu, tidak bisa lagi menjadi kita.
Mungkin benar juga kata orang di luar sana. Mimpi saya ketinggian untuk
bisa bersama kamu.
Maafkan saya yang biasa-biasa saa ini tak bisa memperjuangkanmu yang
luar biasa.
Maafkan saya yang dulu pernah punya mimpi dan harapan yang bersumber
pada kamu, namun tak mampu menjadikan nyata selamanya.
Bukan, bukan berarti saya sudah tak mencintai kamu. Bukan saya tak ingin
hidup bahagia bersama kamu selamanya.
Namun saya hanya lelah. Saya lelah berjuang sendirian.
Komentar
Posting Komentar