Nasib Perempuan Ranjang


pict source: pinterest

Banyak orang memandang kami lemah. Menyebut kami si mulut besar jika kami mencoba untuk membela hak kami. Memang kami mau kalian tiduri, tapi asal kalian tau kami bukan permen murahan yang bisa diicip-icip sembarangan lalu kalian buang begitu saja selayaknya sampah. Ada harga yang harus kalian bayar jika mau menikmati kami.

Kami sama seperti istri-istri kalian di rumah. Kami juga membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Membeli makan, baju dan peralatan makeup untuk memuaskan kalian. Lantas kalian mau dengan seenaknya kabur, setelah puas menikmati kami? Belum lagi untuk membayar dan membeli peralatan anak-anak kami yang tanpa bapak itu. Apa kalian tidak merasa bahwa anak-anak itu adalah hasil dari sperma kalian yang berenang-reang di rahim kami? Iya, itu semua karena kalian yang keras kepala untuk tetap tidak memakai alat kontrasepsi saat bersenang-senang dengan kami.

Apa kalian dan orang-orang di luar sana pernah memahami kami? Kami sama seperti layaknya perempuan biasa, yang memiliki perasaan. Apa kalian pernah berpikir bagaimana susahnya menjadi seorang Ibu yang harus pintar mengarang cerita tiap kali anaknya menanyakan bapaknya? TIDAK. Kalian hanya bisa merendahkan dan menyalahkan kami atas pekerjaan yang kami lakukan ini. Jika kami bisa memilih, pekerjaan nista seperti ini tak akan kami jalani. Tapi, apa kami punya pilihan? TIDAK. Kantor mana yang mau menerima oang-orang tak berpendidikan seperti kami? Ada? TIDAK. Paling-paling jika ada, kami lagi-lagi diperkejakan sebagai alat pemuas laki-laki yang ada di balik kursi dan meja besar di kantor itu.

Jika kami meninggalkan pekerjaan ini, apa negara ini mau menanggung segala kebutuhan yang kami butuhkan? Biaya makan kami tiga kali sehari. Biaya baju baru kami serta peralatan makeup kami? TIDAK kan? Di negara ini mana ada yang gratis sih, bahkan untung kencing saja kami harus mengeluarkan seribu perak tiap kalinya. Bayangkan saja jika kami sehari harus kencing sepuluh kali. Siapa yang mau bayar? Belum lagi, biaya sekolah serta mainan anak-anak kami yang tanpa bapak. Apalagi kalau mereka sakit, siapa yang mau menanggung? Rumah sakit mana yang mau menampung gratis? Tidak ada kan?

Berbeda lagi ceritanya, jika dulu kami diperbolehkan untuk menggugurkan buah hasil dari para lelaki belang itu. Tak ada bagi kami kewajiban untuk menghidupi anak-anak yang seharusnya bukan tanggung jawab kami. Tapi sayangnya, di negara ini aborsi adalah ilegal, barang siapa yang ketahuan melakukannya akan dikirim ke penjara. Apa jadinya, jika kami kaum yang kata orang sudah nista ini juga harus masuk penjara? Kami makin dijaikan seperti makanan enak, pemuas hasrat wanita-wanita yang sama brengseknya dengan kami. Belum lagi, soal agama yang mengatakan bahwa aborsi itu haram dan merupakan dosa besar. Mana berani kami menambah dosa kami yang sudah banya ini. Terpaksa kami membiarkan janin ini menetap di rahim kami dan tumbuh sebagai manusia tanpa bapak.

Mungkin, jika anak itu tak lahir dari rahim kami, kami berani untuk nekat meninggalkan pekerjaan yang kata orang nista ini. Hanya hidup kami sendiri yang perlu kami tanggung. Kami mungkin masih bisa hidup dengan bekerja sebagai buruh cuci. Tapi pada dasarnya ya sama saja toh, kami tetap saja menjadi kaum kasta bawah. Sama-sama menjadi buruh, hanya objeknya saja yang berbeda; laki-laki dan cucian. Kami masih bisa ditindas, suara kami tak didengar.

Memang seharusnya orang-orang seperti kami ini hanya bisa pasrah dengan keadaan dan dianggap sampah oleh orang lain. Biarkan saja negara ini yang sibuk mencari muka dengan mengatur hidup kami yang lemah dan biarkan saja Tuhan yang menghukum kami jika kami memang memiliki banyak dosa.


Komentar